Gayatri, The Woman Behind The Glory of Majapahit

Dibalik kejayaan Majapahit, ada sosok perempuan yang mempunyai peran penting. Dialah Gayatri, seorang permaisuri, Ibu Suri, penasehat, ahli tata negara, sekaligus guru spiritual bagi para raja dan pemimpin Majapahit.

 

Adalah watak Rajapatni Gayatri yang agung, sehingga mereka menjelma pemimpin besar sedunia, yang tiada tandingannya. Putri, menantu, dan cucunya menjadi raja dan ratu. Dialah yang menjadikan mereka penguasa dan mengawasi semua tindak tanduk mereka” (Negarakretagama, Bab 48)

 

SILSILAH

Rajapatni Dyah Gayatri adalah putri bungsu raja terakhir Singhasari, Sri Kertanagara dari permaisuri Sri Bajradewi. Kitab Negarakertagama menyebutkan bahwa Raden Wijaya menikahi keempat orang putri Kertanagara, yaitu Tribhuwana bergelar Tribhuwaneswari, Mahadewi bergelar Narendraduhita, Jayendradewi bergelar Prajnyaparamita, dan Gayatri bergelar Rajapatni. Selain itu, ia juga memiliki seorang istri dari Melayu bernama Dara Petak bergelar Indreswari. Raden Wijaya adalah raja pertama kerajaan Majapahit pada tahun 1293.

 

Dari kelima orang istri tersebut, yang memberikan keturunan hanyalah Dara Petak dan Gayatri. Dari Dara Petak lahir Jayanagara, sedangkan dari Gayatri lahir Tribhuwana Tunggadewi Dyah Gitarja dan Rajadewi Maharajasa Dyah Wiyat. Dari Tribhuwana Tunggadewi inilah yang kemudian terlahir raja-raja Majapahit selanjutnya.

 

PERJUANGAN HIDUP GAYATRI

 

Sejak kecil Gayatri dikenal dekat dengan ayahnya, Kertanegara, yang merupakan raja terakhir Singhasari. Dari ayahnya inilah Gayatri banyak belajar mengenai hukum, tata negara, agama, seni teater, dan yoga. Raja Kertanegara sering mengajak Gayatri berdiskusi mengenai kelangsungan hidup kerajaan, sehingga sejak dini Gayatri memahami mengenai tata negara.

 

Pada tahun 1292 terjadi penyerangan besar-besaran yang dilakukan oleh pasukan Jayakatwang dari Kerajaan Kediri ke Singhasari yang menewaskan ayahanda dan ibundanya. Kakak sulungnya Tribhuwana berhasil kabur dari istana bersama suaminya, Raden Wijaya, sedangkan dua kakaknya yang lain Mahadewi istri Pangeran Ardaraja putera Jayakatwang dan Jayendradewi disandera dan dibawa ke Kediri. Saat terjadi insiden tersebut, Gayatri berhasil lolos dari pembantaian karena saat itu dia sedang belajar di kamar belakang. Gayatri kemudian menyamarkan diri dengan berganti nama menjadi Ratna Sutawan. Ia menanggalkan baju kebesaran istana dan berpura-pura menjadi puteri pegawai rendahan keraton. Namun demikian, Gayatri bersama pengasuhnya, Sodrakara, akhirnya tertangkap dan dibawa ke Kediri sebagai tawanan perang. Sebelum meninggalkan istana, ia meminta Sodrakara mengantarkannya melihat jenazah orang tuanya untuk memberi penghormatan terakhir.

Untuk dapat mengalahkan Jayakatwang, Raden Wijaya bersekutu dengan bangsa Tatar (Mongol). Konon raja Tatar bersedia membantu Majapahit karena Arya Wiraraja menawarkan Tribhuwana dan Gayatri sebagai hadiah. Setelah Jayakatwang kalah, Raden Wijaya dan Arya Wiraraja kemudian berbalik menghadapi pasukan Tatar. Kedua putri siap untuk diserahkan dengan syarat tentara Tatar harus menyembunyikan senjata masing-masing, karena kedua putri tersebut merasa ngeri jika melihat senjata dan darah. Ketika pasukan Tatar datang tanpa senjata untuk menjemput kedua putri, pasukan Raden Wijaya berhasil mengalahkan mereka.

PERAN GAYATRI

Setelah Singhasari runtuh, Raden Wijaya menjadi raja pertama Majapahit pada tahun 1293. Ia wafat pada tahun 1309 digantikan oleh Sri Jayanagara, putranya dari permaisuri lain. Dua putri Rajapatni Dyah Gayatri menjadi ratu di keraton dibawah Majapahit. Dyah Gitarja di Kahuripan dan Dyah Wiyat di Daha Kediri. Pada tahun 1328M, Jayanagara terbunuh dalam pemberontakan Ratanca tanpa meninggalkan keturunan. Pemerintahan Majapahit kosong tanpa putra mahkota. Untuk meredam perebutan kekuasaan, Gayatri tampil mengendalikan pemerintahan. Disinilah peran besar Gayatri dalam panggung sejarah Majapahit berawal.

 

Gayatri memiliki kedudukan yang kuat, sebagai mantan permaisuri pendiri Majapahit sekaligus sebagai putri raja Singhasari, Kertanagara, yang juga mendapat dukungan dari tokoh terkemuka seperti patih Mpu Krewes dan tokoh muda Gajah Mada, serta para pandita, terutama Dharmadaksa Kasogatan Dang Acarya Kanakamuni. Namun demikian, Gayatri memahami bahwa dalam tradisi para raja di tanah Jawa tidak pernah ada seorang Ibu Suri secara resmi naik tahta kerajaan. Oleh karena itulah Gayatri berniat menobatkan putri sulungnya sebagai maharani Majapahit karena dianggap paling berhak menduduki tahta.

Sebelum penobatan, Gayatri menggelar pernikahan bagi kedua putrinya. Dyah Gitarja menjadi permaisuri Kertawardhana dan Dyah Wiyat menjadi permaisuri Wijayarajasa. Setelah menikahan dua putrinya pada tahun 1329M, Gayatri secara resmi menobatkan Dyah Gitarja sebagai ratu Majapahit bergelar Sri Tribhuwana Tunggadewi Jayawisnuwardhani, dan Dyah Wiyat sebagai Rajadewi Maharajasa. Gayatri juga menobatkan dua menantunya sebagai raja di keraton dibawah Majapahit, Kertawardhana sebagai raja di keraton Tumapel dan Wijayarajasa sebagai raja di keraton Wengker. Strategi politik perkawinan melalui dua putrinya dengan dua tokoh penting berdarah Singhasari  dan Majapahit ini semakin mengukuhkan dirinya sebagai sosok pemersatu.

Pada tahun 1330M, Gayatri mulai meninggalkan Majapahit menuju Mandala Pacira (Goa Pasir desa Junjung Tulungagung) di selatan sungai Brantas untuk menjadi seorang Bhiksuni. Namun demikian, Gayatri tidak berhenti memikirkan perkembangan Majapahit. Ia ingin Majapahit tumbuh sebagai kerajaan besar yang dihormati dunia. Dari Mandala Pacira ini, Gayatri terus membimbing putri sulungnya, Tribhuwana Tunggadewi untuk dapat menjadikan Majapahit menjadi kerajaan yang besar.

Kitab kakawin Negarakertagama menyebutkan kedudukan dan peran penting Gayatri  dalam sejarah Majapahit, dimana Prapanca menggambarkannya Bhatara Parama Bhagawati yang menjadi pelindung Majapahit. Dalam Prasasti, Rajapatni Dyah Gayatri juga ditulis sebagai pembimbing atau pengawas maharani Tribhuwana Tunggadewi Dyah Gitarja. Karena Gayatri adalah pembimbing Tribhuwana Tunggadewi, kuat dugaan naiknya Gajah Mada sebagai patih Daha atas perintahnya.

Pada tahun 1331M terjadi perang Sadeng dan Keta yang dipicu oleh kepergian Rajapatni Dyah Gayatri dari Majapahit menjadi Bhiksuni. Beberapa kerajaan kecil berupaya melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit dengan melakukan perlawanan, tetapi semua perlawanan berhasil dihancurkan pasukan Majapahit yang dipimpin oleh Gajah Mada dan Tuhan Waruju (Adityawarman).

Semua tokoh yang berjasa besar menghancurkan Sadeng, mendapat penghargaan. Kembar sebagai Menteri Araraman, Gajah Mada sebagai Angabehi, Lembu Peteng (identik dengan Tuhan Waruju atau Adityawarman) sebagai menteri keraton berpangkat Tumenggung. Jaran Bhaya, Demang Bucang, Gagak Minge, Jenar, Jalu, Arya Rahu, semua mendapat kedudukan tinggi.

Untuk mencegah pergolakan lebih lanjut, Majapahit membutuhkan sosok kuat yang berwawasan luas dan sangat setia pada negara, serta untuk menjaga kesatuan Majapahit dan meneruskan gagasan penyatuan Nusantara yang pernah dilakukan Kertanegara, raja Singhasari. Berdasarkan pertimbangan itu, Gayatri memutuskan untuk mengganti Mahapatih Majapahit Mpu Krewes yang sudah lanjut  usia dengan Gajah Mada. Pada tahun 1334M, Gajah Mada dinobatkan sebagai Mahapatih Amangkubhumi Majapahit oleh Tribhuwana Tunggadewi. Dalam upacara penobatan itu, Gajah Mada mengumandangkan Sumpah Palapa dengan tekad menyatukan Nusantara sebagaimana amanat Gayatri. Sumpah Palapa ini mendapat hinaan dari beberapa menteri seperti Kembar, Warak, dan Jabung Terewes.

Penobatan Gajah Mada sebagai Mahapatih Amangkubhumi Majapahit memunculkan pertikaian di kalangan Istana yang menyebabkan gugurnya beberapa tokoh seperti Kembar dan Warak ditangan Gajah Mada. Meskipun menghadapibanyak rintangan, Gajah Mada tetap bertekad mewujudkan sumpahnya sesuai dengan amanat Gayatri untuk menyatukan Nusantara. Bersama Adityawarman, Gajah Mada berhasil menaklukkan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara. Meski meraih banyak kemenangan, tetapi pasukan Gajah Mada sempat dipukul mundur oleh pasukan kesultanan Samudera Pasai. Setelah kembali ke Majapahit, Gajah Mada melanjutkan penguasaan pulau Bali bersama Adityawarman, sehingga nama Adityawarman menjadi lebih dikenal.

Gajah Mada khawatir jika suatu saat Adityawarman mengambil alih kekuasaan Majapahit yang sedang dipegang Tribhuwana Tunggadewi, mengingat Adityawarman berdarah Singhasari dan Melayu. Ibunya bernama Dara Jingga dan ayahnya adalah mahamentri hino Dyah Adwayabrahma, putra selir Sri Kertanagara. Gajah Mada kemudian menghadap Gayatri di Mandala Pacira untuk menyampaikan kekhawatirannya. Berbeda dengan pandangan Gajah Mada, menurut Gayatri, Adityawarman adalah sosok yang sangat setia pada Majapahit dan sudah banyak berkorban untuk membesarkan Majapahit, sehingga Gayatri tidak setuju dengan keinginan Gajah Mada untuk menyingkirkan Adityawarman. Untuk meredam permasalahan ini, akhirnya Gayatri memerintahkan kepada Tribhuwana Tunggadewi untuk menobatkan Adityawarman sebagai maharaja di Bhumi Malayu.

Pada tahun 1350M, Gayatri wafat di Mandala Pacira sebagai seorang biksuni Bodha Mahayana Sebelum wafat, Gayatri memberi amanat kepada Tribhuwana Tunggadewi untuk menyerahkan tahta Majapahit kepada putra mahkota Hayam Wuruk. Tribhuwana Tunggadewi menjalankan amanat Gayatri dengan turun tahta dan menyerahkan kekuasaan Majapahit kepada Hayam Wuruk yang saat itu masih berusia 16 tahun. Kemudian Tribhuwana Tunggadewi kembali ke keraton Kahuripan dan menjadi pembimbing maharaja Majapahit.

Setelah dinobatkan sebagai raja Majapahit, Hayam Wuruk memerintahkan persiapan pembangunan candi pendharmaan untuk neneknya, Rajapatni Dyah Gayatri di daerah Boyolangu (Tulungagung). Dalam kitab Negarakertagama, pada tahun 1362M berlangsung upacara Sraddha mengenang 12 tahun wafatnya Rajapatni Dyah Gayatri. Pada perayaan itu dilakukan penempatan abu jenazah Gayatri dan penempatan arca perwujudan bernama Pradjnaparamita sebagai penghormatan kepada Gayatri, perempuan Ardanareswari yang kewibawaan dan kebijaksanaannya mengayomi Majapahit. Nama resmi candi pendharmaannya adalah Wisesapura. Candi ini saat ini lebih dikenal dengan candi Gayatri atau candi Boyolangu.

 

 

NURIL MAHMUDI

FOTO: Wikipedia

Share to :


Leave A Comment