Paralympic, Olympiad for Disabled Athletes

Keterbatasan fisik nggak menjadi penghalang bagi banyak penyandang difabel untuk berolahraga. Walau harus pakai kursi roda dan kaki palsu, mereka tetap semangat lho bermain basket, sepak bola, berenang, berlari, sampai angkat besi. Beberapa penyandang difabel bahkan sukses mengukir prestasi di bidang olahraga.

 

Di Indonesia, mereka tergabung dalam organisasi resmi National Paralympic Committee of Indonesia (NPC Indonesia), yang bermarkas di Solo. Sembilan atlet penyandang disabilitas pun dikirim berlaga di ajang Paralimpiade ke-15, yang sedang berlangsung di Rio de Janeiro, Brasil, 7-18 September 2016.

 

Paralimpiade? Yup. Ini pertandingan olahraga terbesar dunia setingkat Olimpiade, khusus untuk atlet yang mengalami cacat fisik, mental, dan sensoral. Mereka termasuk yang cacat karena amputasi, gangguan penglihatan, maupun mengidap cerebral palsy. Seperti Olimpiade, Paralimpiade juga berlangsung tiap empat tahun. Kompetisinya digelar setelah Olimpiade  dan diatur International Paralympic Committee (IPC) alias Komite Paralimpiade Internasional.

 

Cabang olahraga yang dilombakan antara lain anggar kursi roda, angkat berat, atletik (lintasan dan lapangan), balap sepeda, berkuda, boccia, bola basket kursi roda, bola gawang, bola voli (duduk), dayung, judo, layar, menembak, panahan, renang, rugby kursi roda, sepak bola, tenis kursi roda, serta tenis meja.

 

Ide melaksanakan kompetisi olahraga untuk para difabel muncul dari pemikiran Dr Ludwig Guttman. Dokter ahli syaraf asal Jerman ini juga dikenal sebagai pelopor terapi olahraga untuk merehabilitasi pasien cacat. Seusai Perang Dunia (PD) II, rumah sakit di Eropa memang kebanjiran pasien usia muda yang mengalami luka-luka mengerikan. Kualitas hidup mereka menurun drastis. Prihatin, Dr Ludwig bertekad menolong mereka agar nggak tersisih dari lingkungan. Ia melihat olahraga sebagai jawabannya.

 

Dr Ludwig menggelar Pertandingan Stoke Mandeville sebagai kompetisi pertama untuk para difabel. Stoke Mandeville adalah nama rumah sakit tempat ia mendirikan National Spinal Injuries Centre di Buckinghamshire, Inggris. Pertandingan Stoke Mandevillea menjadi cikal bakal Paralimpiade yang kita kenal sekarang. Pertandingan perdananya digelar 28 Juli 1948, barengan sama dimulainya Olimpiade Musim Panas di London. Olahraga yang dilombakan adalah panahan dengan kursi roda. Pesertanya 16 orang, melibatkan para veteran PD II yang menderita cacat syaraf tulang belakang. Kompetisi kedua tahun 1952 diikuti peserta dari Belanda, membuat Pertandingan Stoke Mandevillea makin mendunia.

 

Paralimpiade pertama digelar pada 1960 di Roma, Italia. Di dalam negeri, kompetisi olahraga untuk para difabel pun digelar tiap empat tahunan. Pekan Paralimpiade Nasional atau Pekan Paralimpik Indonesia (Peparnas) itu kurang lebih sama seperti Pekan Olahraga Nasional (PON). Bedanya ada pada pembagian kelas dan teknis pertandingan, di mana atlet dikelompokkan berdasarkan kondisi fisiknya. Pepernas dijadwalkan berlangsung 16-24 Oktober 2016 di Jawa Barat, setelah pergelaran PON ke-19 yang baru saja berlangsung.

 

Lalu, siapa aja sih atlet-atlet difabel terbaik Indonesia? Antara lain Setyo Budi Hartanto (atletik), Abdul Halim Dalimonte (atletik), Ni Nengah Widiasih (angkat berat), Siti Mahmudah (angkat berat), Agus Ngaimin (renang), Jendi Panggabean (renang), Marinus Melianus Yowey (renang), dan Dian David Yakob (tenis meja).

 

Dalam Paralimpiade Rio 2016, lifter Ni Nengah berhasil meraih medali perunggu untuk Indonesia. Bonus yang diberikan pemerintah lewat Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) pun sama seperti atlet Indonesia yang berprestasi dalam Olimpiade. Yaitu uang Rp 1 miliar untuk peraih perunggu serta jaminan hari tua Rp 10 juta per bulan seumur hidup.

 

HAFIDA INDRAWATI

FOTO: ISTOCK

Share to :


Leave A Comment