Saat 133 Kartini Membatik

 

Wafat 108 tahun lalu, Kartini mewariskan semangat pada perempuan Indonesia untuk maju, mandiri dan menjadi manusia yang berarti. Jumat (20/4) sore, 133 perempuan berkumpul di atrium utama Grand City Mall Surabaya. Mereka membatik di selembar kain berukuran 30×30 cm.

 

Kain itu bermotif ragam hias dan kutipan kalimat-kalimat Kartini, yang diambil dari surat untuk para sahabatnya di Belanda. Acara bertajuk ‘133 Kartini Membatik’ tersebut digelar Grand City dan Komunitas Batik Klasik Indonesia. Para perempuan tampak tekun membatik dalam balutan busana nasional, berkain panjang dan berkebaya. “Jumlah peserta dibatasi 133, simbolisasi usia Kartini yang lahir 1879,” jelas Aurellia Dewiyana, Public Relations Grand City.

 

Acara diikuti para perempuan dari berbagai komunitas. Seperti Himpunan Ratna Busana, Otsuka Indonesia, Arisan Berry, PTPN, Surabaya Marketing Club, Stikosa AWS, Citraretna Wedding Galery, AGCA Center, dan Yayasan ASA Surabaya. Proses membatik dipandu Leo Arief Budiman, pembatik dari Griya Gemati. Sebagian besar peserta mengaku sama sekali belum pernah memegang, bahkan melihat canting. Leo bimbing mereka secara missal bagaimana  menggunakan canting untuk membubuhkan plastisin panas di atas kain sesuai pola.“Motifnya sengaja ditambahi cuplikan surat Kartini. Supaya pembatik maupun penonton bisa ikut membaca dan jadi tahu ide-ide Kartini,” kata Dewiyana.

 

Semasa hidupnya, Kartini sendiri memang suka membatik. Ia belajar membatik sejak umur 12 tahun. Dia juga pernah menghadiahkan sarung batik karyanya pada istri direktur Departemen Pengajaran dan Ibadah. Sarung itu dipotret dan ditampilkan pada buku ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’, yang memuat surat-suratnya. Dengan batik, Kartini mengenalkan budaya Indonesia pada masyarakat Belanda, yang saat itu hanya memandang sebelah mata pada Indonesia sebagai negara jajahan.

 

“Ini bukan acara nostalgia. Melainkan sebuah upaya untuk mengenalkan sisi lain Kartini sebagai pelopor kebangkitan perempuan pribumi. Kartini yang memahami budaya negerinya, yang mengenalkan budaya luhur membatik pada dunia. Generasi berikutnya tentu harus bisa melakukan hal serupa, bahkan lebih,” jelas Vika Wisnu, penggagas acara.

 

YULI

FOTO: ANTON

Share to :


Leave A Comment