Serunya Combined Leadership Camp di Surabaya Grammar School

Api unggun, latihan kepemimpinan, belajar merawat pasien luka.. Wow, siapa nggak antusias ikut kegiatan keren ini?

40 murid Surabaya Grammar School (SGS) nggak pulang ke rumah, Jumat 16 Januari 2014. Mereka masuk sekolah membawa travel bag dan menginap satu malam di sana. Sejak sore, para anggota Prefect (semacam OSIS), Scout (Pramuka) dan Red Cross (Palang Merah) dari kelas 1-6 SD ini mengikuti kegiatan Combined Leadership Camp 2015.

Pada sesi penyampaian materi, mereka dibagi dua kelompok. Yang ikut Red Cross dan Scout bergabung jadi satu, sedangkan anggota Prefect berkumpul di ruangan terpisah. Apa sih aktivitas mereka?

Di kelas Red Cross dan Scout, murid-murid berlatih memberi pertolongan pertama pada teman yang cedera. Sesi ini dipandu tim dari Institut Ilmu Kesehatan (IIK) Kediri. Nggak cuma teori, lho. Murid juga diajak praktik menggunakan boneka phantom RJP (Resusitasi Jantung dan Paru) dan phantom kaki. Semua peralatan itu dibawa langsung oleh tim IIK dari Kediri.

“Pijat jantung sebanyak 30 kali agar berfungsi kembali seperti ini. Lakukan sebelum memberi nafas buatan ya,” ujar Yuan Guruh Pratama, dosen keperawatan IIK, mencontohkan gerakan yang benar di depan para murid. Sebelumnya, dia juga melatih mereka mengobati luka insisi atau sobekan pada lutut menggunakan phantom kaki.

Di kelas Prefect, aktivitas berjalan nggak kalah seru. Materi diisi bergantian oleh Kepala Sekolah Feriana Susanti, Camp Comandan Kikip Sarmudyawati dan School Advisor Idris Azis Mattar. Idris yang berbicara tentang “How to be a Good Prefect” mengajarkan murid untuk memberi contoh yang positif sebagai Prefect. “Kalian harus bangga karena kalian adalah pemimpin di sekolah, pemimpin para murid. Sebagai pemimpin, kalian harus berusaha bersikap sebaik mungkin karena murid lain akan meniru,” pesan Idris. Ia mencontohkan, saat guru keluar sebentar meninggalkan kelas. Seorang Prefect harusnya membantu menjaga kedisiplinan kelas agar murid-murid tetap tenang, nggak berubah jadi gaduh meski nggak ada guru.

“Ini Combined Leadership Camp pertama yang kami adakan. Sebelumnya tim Red Cross, Prefect dan Scout berlatih sendiri-sendiri rutin seminggu sekali, tanpa menginap,” jelas Feriana.

Combined Leadership Camp bertujuan melatih kemandirian, memupuk jiwa kepemimpinan dan menggalang kerjasama tim. Para peserta tidur di aula lantai satu, dipisahkan ruang laki-laki dengan perempuan. Mereka diminta membawa perlengkapan makan dan minum sendiri, yang juga harus dicuci sendiri setelah digunakan.

Makan bersama dilakukan dua kali, Jumat petang dan Sabtu pagi sebelum pulang. Menu makan malam hari Jumat adalah sup merah, tahu, tempe, kerupuk dan buahnya melon atau semangka. Sabtu pagi, mereka boleh pilih mau sarapan roti selai atau sereal dan susu. Dalam acara api unggun di halaman sekolah pada Jumat malam, mereka juga asyik menjalin keakraban sambil menikmati menu-menu  barbeque, seperti sosis, chicken wings dan jagung bakar.

Nathania Nabilah Pratitasari (Tita), murid kelas V anggota Scout, sangat senang dengan kegiatan ini. Tasnya berisi dua baju, dua celana panjang, dua kaus kaki,  peralatan mandi, botol minum, peralatan makan, tempat kacamata, alat tulis menulis, buku kosong sesuai pesanan panitia, sampai.. sleeping bag!

Sahabatnya Mumtahina Alam yang anggota Prefect mengaku terkesan dengan sesi api unggun dan menyimak materi yang dipaparkan Idris. “Katanya, kita harus jadi contoh untuk teman lain di sekolah,” ingat gadis berdarah India ini.

Karina Budi Sanjaya, teman sekelas mereka, tidak keberatan disuruh cuci piring sehabis makan. Di rumah ternyata dia dulu juga biasa cuci piring. Tapi belakangan, sejak ada asisten rumah tangga, mamanya hanya berpesan agar piring dan gelas kotor ditaruh di wastafel. “Pokoknya nggak boleh ditinggal di meja makan,” kata Karina, yang membawa sekotak kudapan sebagai bekal menginap.

Idris sadar, siapapun nggak mungkin bisa mengubah karakter seseorang dalam kegiatan satu malam saja. Tapi ia yakin ini merupakan usaha yang bagus untuk membangun jiwa kepemimpinan dan kemandirian murid-murid SGS. “Paling tidak murid-murid ini sadar kalau mereka adalah seorang leader di sekolah. Maka mereka harus menjaga sikap sebab akan menjadi panutan lainnya. Semangat itu yang berusaha kami bangkitkan,” jelas Idris.

 

HAFIDA INDRAWATI

FOTO: HAFIDA INDRAWATI

 

Share to :


Leave A Comment