Menjaga Arwah Leluhur di Rumah Abu Han

Saat Imlek atau bukan, sepanjang tahun bangunan kuno ini dikunjungi wisatawan dari berbagai negara. Apa sih menariknya?

Berbeda dari rumah abu atau columbarium, di dalam Rumah Abu Han sama sekali nggak terlihat guci berisi abu jenazah para leluhur. Yang disimpan di sana hanya sin ci (papan arwah), nisan kayu kecil bertulisan nama anggota keluarga Han yang sudah meninggal. Sampai sekarang, jumlahnya mencapai 131 buah.

Sin ci ini ditata berderet sesuai urutan generasi. Ia diletakkan di sebelah timur meja altar. Ya, Rumah Abu Han sebetulnya merupakan rumah persembahyangan khusus marga Han untuk mendoakan keluarga mereka yang sudah tiada. Tapi sebutan sebagai rumah abu sudah terlanjur melekat di masyarakat.

Bangunan di Jalan Karet 72 Surabaya ini didirikan sekitar abad ke-18 oleh Han Bwee Kong alias Han Bwe Sing (1727-1778). Luasnya 1300 meter persegi dengan lahan 1510 meter persegi. Han Bwee Kong adalah generasi keenam yang menjadi orang pertama dalam silsilah keluarga Han yang menjabat kapitan China di Surabaya. Sebagai Kapiten der Chineezen, ia menjadi wakil pemerintah kolonial Belanda untuk menjadi pemimpin orang-orang Tionghoa di area Surabaya. Keluarga Han sendiri masuk ke Indonesia melalui kota pesisir Lasem, Jawa Tengah pada 1673.

Rumah Abu Han dikelola bukan oleh yayasan, melainkan secara pribadi oleh keturunan Han. Rumah yang merupakan bangunan cagar budaya ini terdiri dari tiga bagian. Satu ruang utama untuk sembahyang dan dua lainnya aula. Aula pertama merupakan ruang terbuka. Di jalan menuju aula dalam, ada deretan kursi kayu di sebelah kiri dan kanan. Di tembok aula kedua terlihat lukisan asli Kapten Han Bwee Kong dengan hiasan huruf kanji. Altarnya sendiri terdiri dari tiga meja marmer. Bentuknya sama seperti altar yang ada di kelenteng. Ratusan sin ci bertulisan nama leluhur dalam huruf kanji disimpan di sebelah timur altar.

Dalam setahun, keluarga Han rutin berkumpul di sana sebanyak tiga kali. Yaitu pada Tahun Baru China, perayaan Ceng Beng (sembahyang kubur) tiap 5 April, dan Cioko (sembahyang rebutan). Selain untuk kegiatan ritual yang bertujuan menghormati arwah leluhur, keluarga Han juga berbaik hati memfungsikan rumah ini untuk kepentingan pendidikan. Misalnya tempat berdiskusi, bedah buku, pameran batik encim, dan pembuatan film dokumenter.

Rumah Abu Han bukan satu-satunya rumah abu tua yang ada di Kota Pahlawan. Di Jalan Karet yang sama saja, ada dua rumah abu lain, yaitu milik marga The dan Tjoa. Ketiganya adalah keluarga konglomerat Tionghoa yang sangat terpandang pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Salah satu anak lelaki keluarga The juga menikah dengan putri dari keluarga Han (sin ci mereka diletakkan terpisah di ruangan khusus di belakang tempat penyimpanan sin ci). Tapi, ya memang hanya Rumah Abu Han yang mau membuka pintu untuk umum. Dua lainnya cuma bisa dimasuki orang-orang keturunan The dan Tjoa.

Meski sangat populer, Rumah Abu Han tidak berdiri mencolok di antara bangunan-bangunan lama di Jalan Karet. Bagian depan bangunan bahkan sering tertutup badan truk milik perusahaan ekspedisi di sekitarnya yang sedang parkir. Dari luar, terlihat ujung atap rumah yang meruncing bergaya khas China, dengan dua tiang penyangga bergaya Eropa klasik. Sejak tiga tahun lalu, rumah ini dihuni pasangan suami-istri Yono, yang dipercaya keluarga Han untuk merawatnya. Mereka membangun tempat tinggal sederhana di halaman dalam bagian samping bangunan, dekat sumur tua yang ada sejak rumah itu berdiri.

Sehari-hari, Yono bekerja di Surabaya. Istrinya menjaga Rumah Abu Han sendirian. Dia hanya berani menerima tamu setelah mendapat izin dari Robert Rosihan, ahli waris keturunan ke sembilan keluarga Han yang menetap di Jakarta. Tapi jangan khawatir, Superkids. Izin masuk ke sana nggak berbelit-belit, kok. Kalau belum janjian, Bu Yono akan menghubungi suaminya, yang akan mengontak Robert untuk melaporkan kunjungan itu. “Tidak pernah ditolak. Siapa saja boleh masuk, asal ada izin dari Pak Robert,” kata Bu Yono.

 

Rumah Abu Han

Jl Karet 72 Surabaya

 

HAFIDA INDRAWATI

FOTO: HAFIDA INDRAWATI

 

 

 

Share to :


Leave A Comment