Mengenal Tradisi Satu Suro Bagi Masyarakat Jawa

Tepat di tanggal 20 Agustus 2020 ini merupakan hari yang sangat istimewa bagi umat muslim karena diperingati sebagai Tahun Baru Hijriyah. Bersamaan dengan Tahun Baru Islam ini bertepatan juga pada penanggalan jawa 1 Suro. Superkids ada yang tahu mengenai Malam Satu Suro tidak? Pasti ada sebagian dari kalian menjawab tahu akan malam satu suro dan berkomentar bahwa malam satu suro itu malam yang paling serem. Hmmm…tidak bisa dipungkiri mitos-motos seperti ini berkembang bagi masyaraka Indonesia karena masyarakat kita masih sangat kental akan kepercayaan akan leluhur dan budaya jawa kuno.

 

Tradisi malam satu Suro bermula saat zaman Sultan Agung yaitu sekitar tahun 1613-1645. Saat itu, masyarakat banyak mengikuti sistem penanggalan tahun Saka yang diwarisi dari tradisi Hindu. Hal ini sangat bertentangan dengan masa Sultan Agung yang menggunakan sistem kalender Hijriah yang diajarkan dalam Islam. Oleh karena itu Sultan Agung berinisiatif untuk memperluas ajaran Islam di tanah Jawa dengan menggunakan metode perpaduan antara tradisi Jawa dan Islam. Sebagai dampak perpaduan tradisi Jawa dan Islam, dipilihlah tanggal 1 Muharam yang kemudian ditetapkan sebagai tahun baru Jawa. Hingga saat ini, setiap tahunnya tradisi malam satu Suro selalu diadakan oleh masyarakat Jawa.

 

Kali ini Superkids Indonesia tidak akan membahas tentang mitos-mitos akan malam satu suro. Melainkan membahas mengenai tradisi yang dilakukan masyarakat Jawa khususnya di kota Yogyakarta dan Surakarta dalam menyambut datangnya malam satu suro.

 

SURAKARTA

Source Image

Ada yang unik dalam penyambutan malam satu suro di kota Surakarta ini. Setiap malam satu suro akan dilakukan tradisi kirab yang dilakukan oleh segerombolan kerbau. Bukan sembarang kerbau loh yang diajak berkeliling ini, melainkan kerbau bule atau dalam Bahasa jawa disebut kebo bule. Kerbaunya memang bule tapi bukan bule karena dia berasal dari ras Eropa atau Amerika, tapi bule karena si kerbau memiliki kelainan pigmentasi alias albino pada kulit di tubuhnya sehingga seakan-akan si kerbau tersebut memiliki kulit lebih cerah dibanding kerbau pada umumnya. Kerbau-kerbau ini dirawat sangat baik oleh abdi Keraton Surakarta dan dipercaya membawa keberuntungan bagi masyarakat. Dan uniknya, kerbau-kerbau bule ini memiliki panggilan “kyai Slamet”. Cukup unik ya Superkids.

 

YOGYAKARTA

Source Image: Jogja Info

Memiliki kesamaan dengan tradisi yang ada di Surakarta juga, bedanya kirab yang dilakukan di Yogyakarta dilakukan oleh para abdi dalem keraton yang disebut Lampah Budaya Mubeng Beteng. Mubeng beteng atau berjalan mengelilingi keraton ini diikuti oleh para abdi dalem keraton Ngayogyakarta, baik perempuan maupun laki-laki dengan lengkap mengenakan pakaian tradisional keraton. Sebelum memulai prosesi kirab, acara dimulai dengan pembacaan tembang macapat. Tepat di tengah malam, para abdi dalem mulai berjalan dengan membawa bendera memalui rute Kamandhungan Lor, Ngabean, Pojok, Beteng Kulon, Plengkung Gading, Pojok Beteng Wetan, Jalan Ibu Ruswo, Alun-alun Utara, lalu kembali lagi ke Kamandhungan Lor. Dalam acara yang juga dikenal sebagai Tapa Bisu ini tidak diperkenankan berbicara atau bersuara, makan, minum, bahkan merokok selama prosesi berlangsung.

 

Indonesia ini kaya akan budaya-budaya tradisional yang patut dilestarikan ya Superkids. Tetap menghormati dan menghargai warisan budaya untuk menjadikan Indonesia semakin kaya. (Afiqka Yoe/ Image: iStock)

Share to :


Leave A Comment