Latih Anak Tunarungu Lebih Percaya Diri

Jangan biarkan anak tersayang menjadi korban ledekan teman karena keterbatasan bicara dan pendengarannya.

Penampilan Tasya Mittjo sebetulnya menarik, Supermom. Kulitnya bersih, senyumnya manis dan pakaiannya rapi. Tapi meski gayanya oke, dia tetap kurang percaya diri. Tasya beberapa kali melihat anak-anak lain mengolok dia dengan meniru gerakan tangannya, cara Tasya berkomunikasi sebagai tunarungu.

Menurut Konsulen Terapi Wicara dan Auditory Verbal Therapy, Dwi Yanti AMd TW, memupuk kepercayaan diri anak tunarungu bukan tugas yang bisa selesai dalam sehari. Itu harus dilakukan secara kontinyu dan butuh kerjasama orang-orang dekat, termasuk nenek, penjaga anak, dan asisten rumah tangga, yang tiap hari berhubungan dengan Superkids.

“Sebetulnya kurang lebih sama dengan cara kita menumbuhkan percaya diri pada anak yang nggak punya masalah pendengaran. Intinya, kita harus menghormati mereka sebagai individu, meski dia berbeda,” ujar pendiri Sentra Terapi Tumbuh Kembang ‘Rumah Belajar Kepompong” di kawasan Jagakarsa, Jakarta Selatan ini. Dwi memberi beberapa saran jitu membesarkan anak tunarungu menjadi pribadi yang percaya diri.

Pertama, Superparent dituntut untuk selalu bersikap positif. Jangan menyalahkan atau menertawakan anak bila melakukan kesalahan. Misalnya, makan berantakan dengan nasi berceceran. Daripada memarahi, sangat dianjurkan untuk mengajak anak memunguti butiran-butiran nasi yang ia tumpahkan. “Ini akan membangun rasa percaya dirinya. Kita juga bisa memasukkan input bahasa saat melibatkan dia dalam kegiatan bersih-bersih itu,” kata Dwi.

Kedua, stimulasi anak untuk mengembangkan kontak sosial dengan orang-orang sekitar atau anak-anak sebaya. Sebab anak tunarungu bukan untuk disembunyikan, ia juga perlu berteman. Dorong dia bermain dengan anak lain atau ikutkan dalam sebuah kelompok bermain. Kegiatan seperti ini akan mengembangkan kemampuannya bersosialisasi. Anak tunarungu tidak akan minder bertemu orang baru karena sudah terbiasa bergaul.

Ketiga, hindari memberi julukan negatif. Jangan melabeli anak tunarungu dengan sebutan ‘si cengeng’ bila merengek minta sesuatu, ‘anak nakal’ bila nggak nurut diberitahu, ‘anak pelit’ kalau menolak berbagi mainan kesayangan dengan teman, dan lain-lain. “Semua anak akan minder dan merasa tidak berarti kalau diperlakukan begitu. Apalagi anak tunarungu yang sudah menyadari ada kekurangan pada dirinya,” ujar Dwi.

Keempat, sadari tidak ada orang yang sempurna. Berikan banyak perhatian untuknya, jangan ragu memeluk dan mencium dia. Dwi berpesan, tidak usah kecewa kalau anak tidak bisa melakukan sesuatu dengan sempurna karena keterbatasan pendengarannya. Beri dia kehangatan agar merasa nyaman. “Buat dia bangga pada dirinya sendiri. Kalau dia nyaman dengan kondisinya, dia akan jadi anak tunarungu yang nggak gampang di-bully,” yakin Dwi.

Terakhir, beri contoh pada anak untuk bersikap positif pada orang lain. Mulai dari hal-hal yang simpel saja. Seperti tersenyum dan menyapa orang lain duluan saat bertemu. Kalau anak bisa menunjukkan sikap hormatnya pada yang lain, orang lain juga akan hormat padanya. Mereka jadi segan mengolok, mengejek dan melakukan hal-hal serupa yang tergolong bullying. Bisa jadi, mereka justru akan memuji si kecil karena kelebihannya itu. Anak pun bakal tumbuh lebih percaya diri, meski pendengarannya kurang.

 

HAFIDA INDRAWATI

FOTO: 123RF

Share to :


Leave A Comment