Mengenal Dokter Berhati Mulia, dr. Cipto Mangunkusumo

Di Hari Pahlawan yang jatuh pada hari ini, 10 Oktober merupakan hari dimana kita mengingat kembali perjuangan para pahlawan-pahlawan kita terdahulu dalam melawan penjajah. Perjuangan para pahlawan ini dilakukan dalam berbagai hal dan cara, ada yang langsung terjun ke medan perang dan adapula yang berjuang di bidang lain. Dari sekian banyak pahlawan yang berjasa ada berapa nama pahlawan yang bisa Superkids sebutkan? Apakah ada yang menyebut nama pahlawan dr. Cipto Mangunkusumo? Yuk kita berkenalan lebih dekat dengan sosok pahlawan yang satu ini.

Source Image: Istimewa

 

Masa Kecil Si Kutu Buku

dr.Cipto Mangunkusumo atau dengan ejaan lama ‘Tjipto Mangoenkoesoemo’, lahir di Jepara, Jawa Tengah pada tahun 1886. Beliau terlahir dari keluarga priyayi yang sangat dihormati oleh masyarakat, sehingga beliau pun memiliki kesempatan emas untuk mengenyam pendidikan yang bagus. Sejak kecil, Cipto sangat senang membaca dan mempelajari hal-hal baru dan hal ini mendapat dukungan penuh dari orang tuanya, terutama ayahnya yang merupakan seorang guru SD di kota kecil Ambarawa.

Di usianya yang ke 6 tahun, Cipto masuk ke sekolah Belanda, Europeesche Lagere School dan lulus dengan predikat terbaik di antara teman-temannya. Ia pun melanjutkan ke jenjang berikutnya di STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen). STOVIA merupakan sekolah kedokteran bagi rakyat pribumi pada zaman Hindia Belanda.

 

Seorang Dokter Yang Berhati Mulia

Selesai mengenyam pendidikan kedokteran, Cipto mengabdikan dirinya untuk membantu sesama. Pengabdiannya pada masyarakat yang tidak membeda-bedakan latar belakang siapa yang dia akan bantu, membuat beliau dikenal juga sebagai ‘Dokter Rakyat’. Jasa besar beliau di bidang kesehatan, beliau sangat berperan penting dalam penanganan wabah pes yang saat itu menyerang masyarakat luas di kota Malang pada tahun 1910-1911, dan mendapat penghargaan bintang emas dari Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda.

 

Awal Mula Menjadi Aktivis

Saat menempuh pendidikan di STOVIA, Cipto mulai menyadari adanya diskriminatif yang terjadi di sekolahnya tersebut. Terdapat peraturan-peraturan yang dirasa memperlakukan siswa-siswanya menjadi golongan-golongan tertentu. Salah satunya dalam hal berpakaian, bagi mahasiswa Jawa dan Sumatra yang bukan beragama Kristen diharuskan memakai pakaian tradisional bila sedang berada di sekolah. Dan pakaian barat hanya boleh digunakan oleh pribumi yang berpangkat Bupati. Akibat dari kebiasaan ini, rakyat cenderung tidak menghormati dan menghargai masyarakat pribumi yang memakai pakaian tradisional. Bagi Cipto, peraturan berpakaian semacam ini merupakan wujud dari politik kolonial.

Kekhawatiran inilah yang mendorong Cipto untuk menyuarakan kritiknya melalui tulisan tentang kondisi masyarakat di harian De Locomotief, surat harian Kolonial yang cukup berkembang kala itu. Tulisan-tulisan nya pun sering kali membuat Cipto mendapat teguran dan peringatan dari pemerintah, karena dianggap cukup membahayakan.

 

Budi Utomo

Cipto pun sangat aktif dalam mengikuti organisasi kepemudaan, salah satunya Budi Utomo pada tahun 1908. Organisasi Budi Utomo merupakan salah satu penggerak kemerdekaan dengan memperjuangkan melawan penjajah. Namun sayangnya Cipto mendapati perbedaan tujuan dengan Budi Utomo, sehingga ia memutuskan untuk mengundurkan diri dari organisasi tersebut. Ia berpendapat bahwa Budi Utomo harus menjadi organisasi politik yang berjuang untuk semua kalangan, bukan hanya dari kalangan tertentu saja.

 

Indische Partij

Setelah mundur dari Budi Utomo, di sela-sela kesibukan melayani pasien, Cipto masih aktif dalam dunia politik. Perhatiannya pada politik semakin meningkat setelah ia bertemu dengan rekan seperjuangannya, Ernest Douwes Dekker dan Soewardi Soerjaningrat (Ki Hajar Dewantara) yang kemudian mendirikan Indische Partij pada tahun 1912. Ketiga tokoh ini pun dikenal sebagai ‘Tiga Serangkai’ yang banyak memberi kontribusi emas bagi kemerdekaan Indonesia. Bagi Cipto, Indische Partij merupakan upaya mulia yang mewakili kepentingan-kepentingan semua penduduk Hindia Belanda yang tidak memandang suku, golongan dan agama.

Berbeda dengan kedua rekannya dalam “Tiga Serangkai” yang kemudian mengambil jalur pendidikan, Cipto tetap berjalan di jalur politik dengan menjadi anggota Volksraad. Karena sikap kritisnya terhadap Pemerintah Hindia Belanda, pada tahun 1927, Gubernur Jendral mengasingkan Cipto ke daerah yang tidak berbahasa Jawa, mulai dari Aceh, Palembang, Jambi, Kalimantan Timur, Kepulauan Timor, Bandung hingga ke Banda.

 

Akhir Hidupnya

Dalam masa pengasingan, beberapa kali penyakit asmanya kambuh dan membuat kesehatan beliau memburuk. Cipto pun meninggal dunia pada 8 Maret 1943 karena penyakit asma yang ia derita. Beliau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Ambarawa, bersebelahan dengan makan kedua orang tuanya. Sayangnya keberadaan makam salah satu Pahlawan Indonesia ini seakan tidak teralu menonjol di kota kecil ini. Sebagai bentuk penghormatan kepada jasa-jasa dr.Cipto Mangunkusumo, pada tahun 2016 Pemerintah Republik Indonesia mengabadikan beliau di pecahan uang logam pecahan 200 rupiah. Dan masyarakat Ambarawa pun membangun sebuah patung yang cukup megah sebagai mengenang dan penghormatan bagi beliau. (Afiqka Yoe/ Image: Istimewa)

 

Source: Wikipedia

Share to :


Leave A Comment