Tiga Cara Menyayangi Anak yang Keliru

Menyayangi anak tentu hal yang wajar. Yang nggak wajar, kalau menyayangi dengan cara berlebihan. Dampaknya buruk dan justru akan sangat merugikan Superkids sendiri. Berikut tiga hal yang paling banyak dilakukan Superparent dengan alasan sayang, tapi berdampak negatif bagi anak.

 

1. Menuruti Semua Maunya. Karena sayang, segala keinginan anak selalu berusaha dipenuhi orangtua. Ini terutama terjadi pada Superkids yang lahir sebagai si sulung, alias anak pertama. Banyak orangtua yang merasa bersalah bila nggak bisa menuruti permintaan anaknya. Mereka juga nggak tahan mendengar suara tangisan anak. Maka, apapun yang diminta, akan diberikan. Termasuk makan permen sebanyak yang dia mau, main gadget sepuas-puasnya tanpa batasan waktu, bebas nonton TV kapan saja dan program apa saja, atau membeli mainan baru yang harganya melebihi budget.

 

Kenapa menyayangi anak seperti ini negatif? Sebab, Superkids akan tumbuh menjadi anak manja, nggak mandiri, nggak bertanggung jawab, dan nggak bisa selesaikan masalah. Senjata andalannya biasanya nangis atau ngamuk alias tantrum. Pakar parenting asal Inggris, Eileen Hayes memaparkan ini dalam buku best-seller-nya “Practical Parenting: Tantrums”. Menurut pengamatan Eileen, anak yang selalu mendapatkan apa yang diinginkan, akan tumbuh dengan keyakinan bahwa kepentingannya adalah nomor satu. Dia bisa melakukan apapun yang dia suka dan orang lain harus mengalah. Kalau tidak, ia akan mengeluarkan senjata andalannya yaitu tantrum.

 

2. Bebas Tugas. Ada begitu banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Tapi anak dibiarkan acuh, nggak melakukan apapun untuk membantu. Superparent sering nggak tega memberi tugas rumah tangga pada anak. Karena alasan sayang anak, membersihkan dan membereskan rumah dianggap sebagai hanya tanggung jawab orangtua atau asisten rumah tangga. Padahal, tidak ada alasan sama sekali untuk merasa menjadi orangtua yang buruk, kalau meminta anak mengembalikan mainan yang selesai dipakai ke tempatnya.

 

Apa dampaknya? Menyayangi seperti ini akan membentuk karakter anak sebagai individu yang minim empati, tidak mandiri, dan kurangnya rasa tanggung jawab. Anak-anak di sekolah diberi tugas yang harus mereka kerjakan, dan melakukan itu tanpa keluhan. Pekerjaan rumah adalah kesempatan untuk mengajari kompetensi dan tanggung jawab pada anak. Kasih aja tugas yang sesuai dengan kemampuannya. Seperti membereskan mainannya sendiri, meletakkan piring kotornya ke bak cuci piring, atau menyimpan baju kotornya di keranjang baju kotor.

 

3. Tidak Ada Sanksi. Karena begitu sayangnya, Superparent seringkali nggak sampai hati untuk memberi sanksi atas pelanggaran yang dilakukan anak. Aturan yang dibuat dengan maksud mengajarkan kedisiplinan pun, sia-sia. Dalam buku pengasuhan “Nanny 911” yang reality show-nya sempat booming beberapa tahun lalu, hal ini selalu ditegaskan. Saat tidak ada konsekuensi terhadap kenakalan, maka anak akan sadar bahwa tidak ada alasan bagi dia untuk menghentikannya.

 

Akibatnya, Superkids tumbuh menjadi anak yang semaunya sendiri, tidak mau mendengarkan orang lain, dan suka melanggar. Selain itu, Superparent pun akan kehilangan wibawa di mata anak. Padahal, sanksi yang diberikan bukan berupa pukulan atau hukuman fisik lainnya. Melainkan mengurangi kegembiraan mereka terkait barang-barang favoritnya. Misal, tidak menggunakan gadget seharian, tidak menonton TV, atau tidak bermain di luar rumah, apabila melanggar aturan di rumah.

 

HAFIDA INDRAWATI

FOTO: ISTOCK

Share to :


Leave A Comment