Asal Mula Telaga Wekaburi

Telaga Wekaburi terletak di Desa Werabur, Kecamatan Windesi, Kabupaten Teluk Wondama, Propinsi Papua Barat. Konon sebelum berubah menjadi Telaga Wekaburi, tempat tersebut adalah sungai kecil yang jernih airnya.

Di sekitar sungai itu, tinggal Suku Wekaburi. Suku ini membangun rumah-rumah panggung di atas aliran sungai. Mereka menggunakan air sungai untu memenuhi kehidupan sehari-hari. Dengan berbekal jaring atau tombak, warga Suku Wekaburi menangkap ikan sambil berenang di sungai. Sayangnya, akibat kesalahan kecil, daerah yang indah itu pun porak-poranda dilanda malapetaka.

Malapetaka bermula dari suatu adat besar-besaran yang digelar Suku Wekaburi. Pesta terakbar sepanjan tahun. Kabar tentang pesta adat yang akbar menyebar ke seluruh penjuru wilayah. Sampai juga ke telinga Isosi, seorang gadis dari suku tetangga. Isosi naik ke atas gunung bersama anjingnya. Diamatinya Kampung Wekaburi dari kejauhan.

Isosi menceritakan semua yang dia lihat ke neneknya. “Pokoknya, aku harus datang ke pesta itu Nek!” pinta Isosi.

Demi cucunya nenek menyetujui permintaan Isosi, meski Kampung Wekaburi agak jauh dan melelahkan untuk tubuh seorang nenek yang sudah tua. Dan hari yang ditunggu-tunggu tiba, Isosi, nenek dan anjing kesayangan mereka mengikuti rombongan menuju Kampung Wekaburi. Mereka menggunakan pakaian adat dan perhiasan mereka.

Pesta itu berjalan lancar dan sangat meriah. Berbagai tari-tarian dipertontonkan di depan khalayak. Tamu-tamu bergembira, melebur kebahagiaan dengan menari. Di waktu itulah, seseorang yang sedang menari tanpa sengaja menginjak ekor anjing kesayangan si nenek yang tengah terlelap di dekat perapian. Tak ayal, anjing itu lalu menggonggong dengan kerasnya.

Si nenek terbangun. Ia bertanya, kenapa anjingnya bisa menggonggong. Isosi, cucu si nenek, mengatakan pada neneknya bahwa seorang yang sedang menari tanpa sengaja menginjak ekor anjing milik mereka. Mendengar hal itu, si nenek murka. Ia kemudian membawa anjingnya masuk ke sebuah ruangan dan mengikatkan cawat pada tubuhnya.

Dia keluar seraya memeluk anjingnya, dan berikutnya ia berjoget bersama para tamu lainnya. Menurut peraturan adat, jika ada penduduk yang berbuat demikian akan ada malapetaka datang. Si nenek itu tahu bahwa perbuatannya melanggar adat. Karena itu, ia sengaja melakukannya. Ia ingin memberi hukuman kepada mereka yang telah menginjak anjingnya.

Setelah itu, si nenek segera mengambil api, yang disembunyikan di dalam seruas bambu supaya tidak terlihat orang lain. Nantinya, api dan potongan bambu itu akan dijadikan obor. Nenek itu mengajak Isosi agar segera keluar dari kampung itu. “Ayo, cucuku. Kita segera tinggalkan kampung ini,” ajak si nenek.

Penerangan obor membantu si nenek bersama cucu dan anjing kesayangannya berjalan menuju ke Gunung Ainusmuwasa melalui jalan setapak. Namun tanpa mereka sadari, ada seorang pemuda yang bernama Asya mengikuti langkah mereka. Rupanya, Asya adalah teman Isosi, cucu si nenek. “Tunggu, Nek!” serunya. “Bolehkah saya ikut bersama kalian?”

Si nenek tidak keberatan. Setelah itu, rombongan si nenek kembali melanjutkan perjalanan.  Mereka tiba di puncak Gunung Ainusmuwasa. Dari atas gunung tampak cuaca mulai memburuk. Awan gelap menutup langit di atas hulu Sungai Wekaburi. Kilat yang disertai guntur terlihat menyambar-nyambar. Hujan deras akhirnya turun.

Para penduduk Wekaburi serta tamu undangan masih asyik berpesta. Mereka tidak menyadari jika bahaya sedang mengancam. Semakin lama, hujan turun semakin lebat sehingga terjadilah banjir besar. Mereka baru sadar akan bahaya tersebut ketika air telah naik ke lantai rumah. Kepanikan akhirnya melanda para penduduk. Mereka lari kalang kabut hendak menyelamatkan diri. Namun malang, semua sudah terlambat. Banjir yang dahsyat tersebut menghanyutkan semua yang ada.

Keesokan harinya, si nenek bersama Isosi dan Asya turun dari gunung untuk melihat peristiwa yang terjadi semalam. Tak satu pun rumah penduduk yang tersisa. Mereka banyak yang terbawa arus, sebagian yang lain menjelma menjadi katak dan buaya. Sungai Wekaburi telah berubah menjadi sebuah telaga, yang kemudian disebut Telaga Wekaburi.

 

DICERITAKAN KEMBALI OLEH: NURUL L. IRFAN

ILUSTRASI: CAECILIA SANDY

Share to :


Leave A Comment