Dempu Awang si Anak Durhaka

Seperti Malin Kundang, ia pun dikutuk ibunya menjadi batu.

Di kawasan utara kota Mentok, Bangka Barat, ada sebuah situs wisata yang sering ramai dikunjungi orang. Namanya Batu Balai. Ia berupa tumpukan batu-batuan raksasa yang bagian atasnya berbentuk mirip buritan perahu. Batu ini berada di Kampung Balai, Kelurahan Tanjung, Mentok. Masyarakat sekitar percaya, batu itu tidak terbentuk begitu saja. Melainkan merupakan wujud anak durhaka bernama Dempu Awang dalam sebuah cerita rakyat dari Kepulauan Bangka.

Konon, dulu waktu kota Mentok yang kini ramai masih berupa hutan belantara, ada pemuda yatim bernama Dempu Awang tinggal di sana. Ia hanya hidup bersama ibunya yang mulai menua. Hidup mereka sangat sederhana. Dempu Awang dan ibunya makan apa adanya dari hasil berkebun. Merasa ingin memberi kehidupan yang lebih baik untuk ibunda tercinta, Dempu Awang pamit merantau ke pulau seberang.

Ibunya mengizinkan ia pergi namun tak bisa memberi sekeping pun uang saku sebagai pegangan. Bagi Dempu Awang, itu bukan masalah. Ia bisa menumpang perahu layar dan membayar ongkos menyeberang dengan menjadi ABK alias anak buah kapal. Ibunya tak pernah lupa berdoa setiap hari, mengharapkan kesuksesan untuk anak semata wayangnya tercinta. Berkat kerja keras dan doa ibunda, Dempu Awang pun berhasil mendapat pekerjaan dan mengumpulkan banyak uang. Tapi kesibukan bekerja dan menjalani kehidupan di kota membuatnya lupa berkirim kabar pada ibunda yang menunggu di hutan. Bahkan saat menikahi seorang wanita cantik dari keluarga kaya rata, Dempu Awang pun tak sempat mengabari ibunya untuk sekadar meminta restu.

Suatu hari, ia bermaksud pulang kampung dan menemui ibu yang tak pernah putus mendoakannya. Dempu Awang berlayar ke Mentok menggunakan perahu layar besar yang megah miliknya sendiri. Saat melihat ada perahu indah akan merapat ke dermaga, nelayan di sekitar pantai pun mendekat menggunakan sampan tradisional mereka. Beberapa di antara nelayan itu mengenali wajah Dempu Awang, anak yatim yang dulu hidup melarat bersama ibunya di tengah hutan.

“Apakah ibuku masih hidup?” tanya Dempu Awang padanya dengan penuh harap. Ia lalu meminta bantuan nelayan untuk menjemput ibu di hutan dan membawanya ke perahu layar.

Tapi saat melihat penampilan ibunya yang renta, kotor dan berpakaian compang-camping, Dempu Awang berubah pikiran. Ia melarang ibunya naik ke perahu layar. Ia tidak mengakui perempuan berambut putih itu sebagai ibu kandungnya. Ia malu pada sang istri yang berasal dari keluarga terpandang. “Saya tidak kenal dia. Bukan, dia bukan ibuku,” tegas Dempu Awang.

Para nelayan berusaha meyakinkan bahwa mereka tidak salah orang. Bahwa perempuan tua itu benar ibu kandung Dempu Awang, yang dulu menemaninya hidup berladang. Namun Dempu Awang tetap tidak mengakui punya ibu seorang tua renta yang kumuh.

Ibunda Dempu Awang sangat sedih mendengar ucapan kasar anak semata wayangnya. Dia masih mengingat jelas wajah Dempu Awang. Dia juga tahu kalau Dempu Awang hanya berpura-pura tidak mengenalinya karena malu melihat ia berpenampilan  seperti gelandangan. Saat berusaha naik ke perahu layar untuk menyentuh wajah putranya tercinta, perempuan itu jatuh terdorong oleh tangan Dempu Awang yang tidak mengizinkannya mendekat. Hati ibunda sangat hancur. Ia minta diantar kembali ke hutan tempat tinggalnya dulu.

Di atas nampan milik nelayan yang berjalan merapat ke pantai. ia berdoa dengan sangat sungguh-sungguh. “Berikanlah balasan yang setimpal dengan sakit hatiku ini pada anakku Dempu Awang, ya Tuhan. Dia tidak mau mengakui saya yang melahirkannya sebagai ibunya. Dia malu memiliki ibu seperti saya,” pintanya.

Saat Dempu Awang bertolak meninggalkan perkampungan Balai, tiba-tiba badai datang. Perahu layarnya terhempas, terbelah menjadi dua dan karam. Saat angin kencang berhenti berhembus dan suasana pantai sudah lebih tenang, warga dikagetkan dengan munculnya sebuah batu raksasa yang tadinya merupakan perahu layar milik Dempu Awang. Lalu kemana Dempu Awang? Ia menjadi batu bersama kapal megah yang ia banggakan. Sedangkan istrinya, yang sempat mengingatkan ia untuk mengakui ibunya, berubah menjadi kera putih.

Batu itu sekarang masih ada, berada di tempat yang sama sekitar 3,5 kilometer sebelah utara kota Mentok. Tingginya sekitar lima meter dengan lebar delapan meter. Bentuknya yang mirip perahu diyakini terbentuk secara alami akibat kutukan ibunda Dempu Awang, bukan hasil pahatan para seniman di masa lampau. Begitulah Legenda Batu Balai yang terkenal dari Pulau Bangka.

 

DICERITAKAN KEMBALI OLEH HAFIDA INDRAWATI

Share to :


Leave A Comment