Hari Pertama Nadia Pergi ke Sekolah

 

Dua anak perempuan itu juga memakai rok dari katun yang dihiasi renda-renda di bawahnya. Dinda bahkan memakai sepatu balet warna merah yang biasanya hanya dikenakan bila diajak ayahnya ke kota untuk melihat pasar malam.

“Kalian mau kemana?” tanya Nadia. “Aku dan Dewi mau sekolah,” ungkap Dinda.

 

Nadia tertegun mendengar jawaban Dinda. Sekolah bukanlah kata-kata baru baginya. Dulu Nadia berpikir sekolah itu bukan untuk dirinya dan teman-temannya. Dikiranya sekolah hanya untuk anak-anak yang ingin belajar menyanyi dan suka baris berbaris. Karena sering dilihatnya anak-anak sekolah pada latihan baris berbaris di lapangan. Jika dia lewat di dekat sekolah sering terdengar mereka sedang menyanyi bersama-sama dengan suara keras. Dia sendiri tidak tahu arti lagu yang mereka nyanyikan.

 

“Apa kalian sekolah karena ingin belajar menyanyi?” tanya Nadia pada kedua temannya.

“Iyah, aku ingin bisa menyanyi seperti sepupuku yang sudah sekolah sejak setahun yang lalu. Dia hafal banyak sekali lagu yang bagus-bagus,” jawab Dinda.

 

Lalu Dinda bercerita bahwa ayah dari sepupunya itulah yang menyuruhnya bersekolah. Sebenarnya pamannya Dinda berniat mengantar Dinda mendaftar sekolah. Namun karena sejak minggu lalu terjadi banjir besar di sana, maka paman harus menjaga rumahnya. Untungnya sewaktu berkunjung ke rumah Dinda bulan lalu, paman sempat membuat surat pengantar untuk dibawa Dinda saat pergi ke sekolah. Rupanya surat itu sengaja dibuat paman untuk jaga-jaga jika dia berhalangan datang untuk menemani Dinda.

 

“Surat itu apa? Apa dia bisa bicara seperti manusia?” tanya Nadia dengan kening berkerut.

“Kata Paman kalau ingin bisa bicara dengan surat, kita harus sekolah,” lanjut Dinda.

 

Mendengar penjelasan itu Nadia jadi ingin ikut pergi ke sekolah. Ada apa saja di sana? Apa saja yang diajarkan sehingga mereka bisa bicara dengan surat? Maka pagi itu Nadia sambil bernyanyi-nyanyi riang membuntuti dua temannya berangkat ke sekolah.

 

Ketika dua temannya masuk ke halaman sekolah, Nadia tanpa ragu membuntuti di belakangnya. Saat keduanya masuk ke bangunan sekolah, Nadia diam menunggu di luar. Semenit, dua menit, tiga menit hingga setengah jam mereka tidak juga keluar dari bangunan sekolah. Nadia penasaran. Didekatinya pintu bangunan sekolah, lalu pelan-pelan dijulurkan kepalanya untuk melihat isi bangunan lewat pintu yang tidak tertutup.

 

Dilihatnya ruangan penuh dengan anak-anak. Diantara mereka terdapat Dinda dan Dewi yang duduk di bangku paling depan. Tangannya anak-anak itu terlipat rapi di atas meja, asyik mendengarkan seorang perempuan muda yang tengah bercerita.

 

Diam-diam Nadia melangkahkan kaki memasuki ke ruangan. Kemudian berdiri di depan pintu sambil mendengarkan cerita perempuan muda itu. Tak terasa setengah jam berlalu kala perempuan itu selesai bercerita. Tiba-tiba pandangan matanya mengarah ke Nadia.

 

Nadia terkejut dipandangi oleh perempuan itu. Tapi kemudian dia tersenyum dan menganggukkan kepala tanda hormat pada orang yang lebih tua — seperti yang diajarkan ibunya. Perempuan itu mendekati Nadia dan mulai bertanya.

 

“Nah Nadia, mulai hari ini kamu bisa mulai sekolah. Datanglah ke sini setiap hari. Sekolah dimulai jam 7 pagi dan selesai jam 10 siang. Nanti setiap anak mendapat 1 buah buku dan 1 buah pensil. Setiap Jumat akan ada pembagian susu bantuan Unicef. Ada juga majalah-majalah bergambar kiriman dari luar negeri yang boleh dipinjam. Di sekolah kamu akan belajar membaca dan berhitung biar jadi anak pintar,” kata Ibu Guru

 

“Apakah saya diajari cara bicara dengan surat Bu Guru?” tanya Nadia pada Ibu Guru.

“Yah, dengan belajar membaca dan menulis kamu bisa bicara dengan menggunakan surat,” jawab Ibu Guru.

 

Nadia tertawa senang, dia membayangkan sebentar lagi dirinya bisa bicara dengan surat. sekarang dirinya telah bersekolah dan dia senang sekali punya banyak teman-teman baru.

 

NURUL L. IRFAN

FOTO: THINKSTOCKS PHOTOS 

 

 

Share to :


Leave A Comment