Pangeran Diponegoro, Pemimpin perang jawa yang Humble

Superkids pasti kenal nama Pangeran Diponegoro. Yes, dia pahlawan nasional kebanggaan bangsa kita lho.  Jauh sebelum perang kemerdekaan, Diponegoro sudah berjuang mengusir penjajah dari bumi nusantara. Itu dilakukan pada masa-masa awal kekuasaan kolonial Belanda di Pulau Jawa pada 1820an. Walau akhirnya kalah, perjuangan luar biasa Diponegoro membuat jasanya terus dikenang sampai sekarang.

Diponegoro lahir dengan nama Mustahar di Yogyakarta, 11 November 1785. Ibunya seorang selir asal Pacitan bernama RA Mangkarawati. Ayahnya adalah Sri Sultan Hamengkubuwana III, raja Kesultanan Yogyakarta yang memimpin 1810 sampai 1814. Di lingkungan keraton, Mustahar kecil dipanggil dengan nama Bendara Raden Mas Antawirya. Saat besar, dia lebih dikenal bernama Bendara Pangeran Harya Dipanegara. Sebagai anak raja dari seorang selir, Diponegoro nggak tinggal di lingkungan istana keraton. Dia banyak menghabiskan masa kecil di kampung buyutnya di Tegalrejo, berbaur dengan rakyat biasa. Status sebagai anak selir juga yang membuat Diponegoro menolak keinginan sang ayah menggantikan dia sebagai raja.

Tumbuh dewasa, Diponegoro sangat prihatin melihat kondisi kaum pribumi seperti dirinya. Ia merasa, orang-orang Belanda terlalu membebani rakyat dengan pajak. Ia juga menganggap Belanda tidak menghargai adat istiadat Jawa. Diponegoro nggak segan menunjukkan kejengkelannya secara terang-terangan. Rakyat yang ia bela jadi bersimpati dan mendukung aksinya. Kemarahan Diponegoro makin tersulut saat tahu pihak Belanda memasang patok perluasan jalan di tanah milik keluarganya di Tegalrejo. Diponegoro pun melawan – sesuatu yang tidak berani dilakukan warga pribumi saat itu.

Untuk menyusun strategi, Diponegoro membuat markas sederhana di Gua Selarong. Aksi perlawanan terhadap Belanda ini ia sebut sebagai perang sabil, alias perang melawan kaum kafir. Semangat perjuangan yang ia kobarkan meluas dengan cepat sampai ke Karesidenan Kedu, bahkan juga kampung halaman ibunya di Pacitan, Jawa Timur. Belanda melakukan banyak cara untuk menangkap Diponegoro. Mulai penyerbuan ke rumah eyangnya di Tegalrejo sampai menggelar sayembara berhadiah 50.000 Gulden.

Perang terbuka melawan Belanda pun berlangsung sengit di puluhan kota dan desa. Meluasnya aksi perlawanan di Pulau Jawa membuat gerakan ini dikenal dengan sebutan Perang Jawa. Sebagian orang menyebutnya Perang Diponegoro karena dipimpin oleh Pangeran Diponegoro. Begitu hebatnya perlawanan rakyat, sampai-sampai satu wilayah yang siang hari berhasil dikuasai Belanda, malamnya bisa direbut kembali oleh pasukan pribumi. Perang selama lima tahun pada 1825-1830 ini tercatat sebagai perang dengan jumlah korban paling besar dalam sejarah Indonesia. Sebanyak 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000 warga Jawa meninggal di medan perang.

Penampilan Diponegoro identik dengan kuda yang biasa ia tunggangi. Ia juga digambarkan sebagai sosok berjubah panjang dan bersorban. Dipoengori akhirnya ditangkap dalam sebuah perundingan (yang ternyata penjebakan) bersama Belanda di Magelang, 28 Maret 1830. Ia diungsikan ke Ungaran, lalu dibawa ke Gedung Karesidenan Semarang. Lokasi pengungsiannya berpindah-pindah. Dari Semarang, ia dibawa ke Stadhuis (sekarang Gedung Museum Fatahillah), lalu ke Manado, dan akhirnya Makassar. Diponegoro menghembuskan napas terakhir di selnya, sebuah ruangan sempit bertembok melengkung di Fort Rotterdam Makassar, 8 Januari 1855.

Superkids bisa mampir melihat ruangan pengasingan Pangeran Diponegoro di Fort Rotterdam, salah satu destinasi wisata sejarah Makassar. Makamnya juga terletak di Kelurahan Melayu Kecamatan Wajo, Makassar.

 

HAFIDA INDRAWATI

ILUSTRASI: DEDE MARIANA DEWI

Share to :


Leave A Comment