RA Kartini (1879-1904): Habis Gelap Terbitlah Terang

Raden Adjeng Kartini tentu bukan nama asing buat Superkids. Jasa pahlawan nasional Indonesia ini diperingati tiap 21 April, tanggal dia dilahirkan 137 tahun lalu. Kartini juga diabadiin sebagai nama perguruan tinggi di Surabaya, museum dan pantai di Jepara, penghargaan untuk perempuan inspiratif, jalanan di Indonesia maupun Belanda, buku, majalah, sampai judul film. Wah, jelas Kartini bukan perempuan sembarangan, dong.

 

Kartini lahir di Mayong, Jepara, Jawa Tengah pada hari Senin, 21 April 1879. Ibunya bernama MA Ngasirah, ayahnya Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat. Ngasirah adalah istri pertama Sosroningrat, yang kemudian menikahi perempuan bangsawan Raden Adjeng Woerjan (Moerjam), sebagai syarat untuk menjabat bupati Jepara. Kartini sendiri terhitung anak ke-5 dari 11 bersaudara, kandung maupun tiri. Dari saudara sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua.

 

Ia termasuk beruntung mengenai pendidikan. Pada masa itu, laki-laki bisa bersekolah sampai jenjang perguruan tinggi, sementara akses pendidikan untuk anak perempuan sangat terbatas. Banyak anak perempuan yang sama sekali nggak diizinin mengenyam pendidikan. Sementara Kartini bisa bersekolah di Europeesche Lagere School (ELS), sekolah dasar pada masa kolonial Belanda, yang menggunakan bahasa Belanda sebagai pengantar.

 

Kartini fasih berbahasa Belanda karena belajar di ELS. Tapi, tamat ELS saat berusia 12 tahun, dia nggak diizinin melanjutkan pendidikan. Superkids tahu nggak kenapa? Pada masa itu, anak perempuan usia 12 tahun udah disiapin untuk menikah. Jadi, nggak perlu sekolah, anak-anak  perempuan justru harus tinggal di rumah buat dipingit.

 

Larangan bersekolah datang dari orang terdekat Kartini sendiri, yaitu ayahnya. Meski Kartini sangat ingin sekolah lagi, Sosroningrat tetap nggak ngebolehin. Kartini harus stay di rumah seperti anak-anak perempuan lain seusianya, sesuai aturan adat setempat. Tapi semangat belajar Kartini terus berkobar. Rasa penasarannya pada dunia juga sangat besar. Kartini adalah anak yang kritis. Dia merasa ada yang nggak beres dengan lingkungannya. Misalnya, kenapa sih anak laki-laki boleh sekolah, tapi anak perempuan enggak?

 

Dari rumah, Kartini mencoba berkomunikasi pada dunia lewat surat menyurat alias korespondensi. Dia punya beberapa sahabat pena yang tinggal di Belanda. Dalam surat-surat itu, Kartini sering curhat mengenai kehidupannya. Dia merasa gerak perempuan di Hindia Belanda (sekarang Indonesia) sangat terbatas.

 

Salah satu sahabat penanya bernama Rosa Abendanon, orang yang sangat mendukung cita-cita Kartini agar semua perempuan pribumi bisa bersekolah tinggi. Rosa sering mengirim buku, majalah, dan koran terbitan Eropa untuk Kartini. Lewat bacaan-bacaan itu, pengetahuan Kartini semakin luas. Dia benar-benar menyadari, kehidupan perempuan di Hindia Belanda jauh tertinggal, dibanding perempuan-perempuan Eropa yang cara berpikirnya sudah sangat maju.

 

Semangat perjuangan Kartini pun tersulut. Baginya, anak perempuan juga berhak mendapatkan pendidikan setinggi-tingginya, seperti laki-laki. Tapi apa yang bisa dia lakukan? Kartini nggak patah semangat. Dengan segala keterbatasan, dia membuka sekolah kecil di sekitar rumah orang tuanya di Jepara. Muridnya adalah anak-anak perempuan dari kalangan keluarganya sendiri. Sepupu dan saudaranya itu hanya berjumlah sembilan orang. Kartini mengajari mereka pelajaran paling dasar, yaitu membaca dan menulis.

 

Dia sendiri juga aktif mengirimkan tulisan ke De Hollandsche Lelie, majalah terbitan Belanda yang ia baca. Beberapa tulisannya dimuat di sana. Bahkan, Kartini juga memberanikan diri menulis surat permohonan beasiswa pada pemerintah Belanda. Hasilnya disetujui. Tapi, bukannya mengizinkan, ayahnya justru melarang. Sosroningrat yakin, satu-satunya cara menghentikan Kartini adalah menikahkan dia. Maka, pernikahan Kartini pun disiapkan.

 

Sosroningrat memilihkan Bupati Rembang RMAA Singgih Djojo Adhiningrat sebagai suami Kartini. Singgih sendiri sebetulnya sudah punya tiga istri. Usia Kartini 24 tahun saat mereka menikah pada 12 November 1903. Kartini langsung diboyong ke Rembang mengikuti suami. Untung saja Singgih mengerti keinginan Kartini mengenai pendidikan untuk perempuan pribumi. Ia mengizinkan Kartini mendirikan sebuah sekolah perempuan di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang. Bangunannya sekarang masih digunakan sebagai Gedung Pramuka.

 

Perjuangan Kartini berakhir setahun kemudian pada 17 September 1904. Dia meninggal empat hari setelah melahirkan anak pertamanya Soesalit Djojoadhiningrat. Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang. Surat-surat yang dulu pernah ia kirim pada sahabat penanya di Eropa, lalu dikumpulkan menjadi buku “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Kegigihan Kartini memperjuangkan kesamaan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan, terus bergaung sampai sekarang.

 

HAFIDA INDRAWATI

ILUSTRASI: SUPERKIDS INDONESIA

Share to :


Leave A Comment