Tuanku Imam Bonjol,Pemimpin Perang Padri

Nama asli beliau adalah Muhammad Shahab. Gelarnya banyak, mulai Peto Syarif, Malin Basa, sampai Tuanku Imam. Lahir tahun 1772 di Kampung Tanjung Bungo, Bonjol, Pasaman, Sumatera Barat, pahlawan nasional Indonesia ini lebih dikenal dengan nama Tuanku Imam Bonjol. Ibunya bernama Hamatun. Ayahnya Khatib Bayanuddin adalah seorang alim ulama yang disegani. Shahab kecil dan dua saudara perempuannya pun dibesarkan di lingkungan agama yang kuat. Shahab tumbuh menjadi pemuda alim yang taat bergama seperti sang ayah.

Sosok Imam Bonjol sangat lekat dengan Perang Padri, yaitu sebuah perang saudara antara sesama pribumi, yang kemudian berubah menjadi satu kekuatan melawan Belanda. Pemicu awalnya adalah perbedaan pandangan tentang ajaran agama dan adat istiadat. Sekelompok ulama dari Kaum Padri mengecam kebiasaan masyarakat di kawasan Kerajaan Pagaruyung. Mereka sama-sama muslim tapi dinilai suka melakukan hal yang bertentangan dengan ajaran Islam. Seperti berjudi, menyabung ayam, minum arak, juga menggunakan hukum adat dalam mengurus pembagian warisan. Kelompok ini dikenal dengan sebutan Kaum Adat. Perangnya sendiri meluas sampai ke wilayah Sumatera Barat.

Perang Padri antara sesama etnik Minangkabau dan Batak berlangsung sangat lama, mulai 1803 sampai 1833. Imam Bonjol bukan satu-satunya panglima perang dari pihak Kaum Padri. Ia mulai dipercaya memimpin pasukan, setelah seniornya –yang berusia delapan tahun lebih muda- Tuanku Nan Renceh meninggal di medan perang. Tuanku Nan Renceh adalah orang yang sebelumnya juga menunjuk dia memimpin Benteng Bonjol, markas penyerangan Kaum Padri.

Pada 1821, Kaum Adat mulai terdesak karena pimpinan mereka Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah menghilang. Kaum Adat lalu minta bantuan Belanda untuk melawan Kaum Padri. Sebagai imbalan, Belanda mendapat hak akses dan penguasaan atas wilayah pedalaman Minangkabau. Perjanjian yang ditandatangani di Padang ini menjadi undangan resmi bagi Belanda untuk terlibat dalam Perang Padri.

Dengan dukungan Belanda, Kaum Adat menjadi lebih kuat. Tapi mereka tetap tidak bisa mengalahkan Kaum Padri. Pada 1925, seiring dimulainya Perang Diponegoro di Jawa, Belanda yang keteteran akhirnya menawarkan perdamaian dengan Imam Bonjol sebagai pimpinan Kaum Padri. Kesepakatan untuk melakukan gencatan senjata dituangkan dalam Perjanjian Masang pada 15 November 1825. Namun perjanjian itu dilanggar sendiri oleh Belanda. Kaum Adat mulai menyadari, keterlibatan Belanda justru bikin konflik menjadi semakin rumit. Apa yang dilakukan Belanda hanya menyengsarakan rakyat Minangkabau saja.

Imam Bonjol pun tahu itu. Ia mencoba memulihkan kekuatan dengan merangkul Kaum Adat. Ia tampaknya menyesali tindakan keras Kaum Padri selama puluhan tahun terhadap sesama orang Minang, Mandailing maupun Batak. “Adapun hukum Kitabullah banyaklah yang terlampau dek oleh kita. Bagaimana pikiran kita?” (Banyak hukum Kitabullah yang sudah terlangkahi oleh kita. Bagaimana menurut kalian?), sesal Imam Bonjol, seperti dikutip dari buku “Memorie Tuanku Imam Bonjol”.

Kesepakatan akhirnya dibuat. Bernama Plakat Puncak Pato, intinya adalah “adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah” yang berarti “adat Minangkabau berlandaskan ajaran Islam, sedangkan Islam berlandaskan Al Quran”. Pada 1833, kaum Adat bergabung dengan kaum Padri dan balik menyerang Belanda. Imam Bonjol sang pemimpin perang adalah salah satu tokoh yang menjadi target Belanda. Dia ditangkap 28 Oktober 1837, segera setelah muncul dalam sebuah perundingan fiktif yang dirancang Belanda di Palupuh, Agam, Sumatera Barat.

Imam Bonjol langsung dibawa ke Bukittinggi, berlanjut ke Padung. Ia kemudian diasingkan ke Cianjur, Jawa Barat, sempat juga dibawa ke Ambon, lalu dipindahkan ke Lotta, Pineleng, Minahasa, Sulawesi Utara. Di sinilah Imam Bonjol menghembuskan napas terakhir dalam usia 92 tahun pada 17 November 1854. Informasi tentang wafatnya Imam Bonjol sempat dirahasiakan dan baru bocor 10 tahun kemudian. Maka, kematiannya pun tercatat pada 6 November 1864.

Superkids bisa mengunjungi makam Imam Bonjol di Desa Lotta Kecamatan Pineleng, Minahasa, Sulawesi Utara. Jaraknya sembilan kilometer dari pusat kota Manado, atau sekitar 30 menit perjalanan. Di batu nisannya tertulis “Peto Syarif Ibnu Pandito Bayanuddin Bergelar Tuanku Imam Bonjol Pahlawan Nasional. Lahir tahun 1774 di Tanjung Bungo/Bonjol Sumatera Barat, Wafat Tanggal 6 November 1854 di Lotta Minahasa, dalam Pengasingan Pemerintah Kolonial Belanda karena Berperang Menentang Penjajahan untuk Kemerdekaan Tanah Air, Bangsa dan Negara”.

 

 

HAFIDA INDRAWATI

ILUSTRASI: DEDE MARIANA DEWI

Share to :


Leave A Comment