Keluarga Campuran, Bisakah Dipertahankan?

 

Keluarga campuran bukan lagi hal yang langka. Lihat saja berita di televisi, Superparent. Banyak tokoh terkenal memiliki keluarga campuran seperti ini. Salah satunya pasangan selebriti A-list, musisi Ahmad Dhani dan penyanyi Mulan Jameela. Mulan mendapat hak asuh Tyarani Savitri dan Muhammad Rafly Aziz, dua anak dari pernikahan pertamanya yang kandas dengan Harry Indra Nugraha. Sementara Dhani juga merawat tiga putranya, Ahmad Al Ghazali, Ahmad El Jallaludin Rumi, dan Ahmad Abdul Qodir Jaelani, buah pernikahan pertama dengan Maia Estianty. Ngomong-ngomong, Dhani dan Mulan kemudian punya Saafeya, anak biologis mereka.

 

Tentu nggak ada yang berharap akan mengakhiri pernikahan, lalu menikah lagi, dan mungkin lagi, dan terus lagi. Tapi, janji sehidup semati tampaknya agak susah dijalankan dalam keluarga campuran. Ini tipe keluarga yang nyata-nyata paling rawan konflik, karena melibatkan begitu banyak individu dan perbedaan. “Nggak kebayang kalau keluarga campuran ternyata jauh lebih rumit dari yang aku kira. Seandainya ada yang kasih tahu sebelum kami menikah,” sesal Ina Maharani, ibu dua anak dan ibu tiga anak tiri, yang kini sedang dalam proses cerai.

 

Jika pernikahan pertama adalah apel, maka pernikahan kedua adalah jeruk. Kita nggak mungkin membandingkan keduanya, kan? Pernikahan pertama adalah tentang hubungan kita dengan pasangan. Pernikahan berikutnya akan berputar tentang anak-anak dan usaha kita membuat semua berjalan baik-baik saja. Apakah keluarga campuran memang tidak mungkin dipertahankan? Bagaimana merawatnya menjadi keluarga yang sehat, kuat, dekat dan hangat? Empat poin ini bisa jadi solusinya.

 

Bilang Dulu

Tak peduli semesra apa hubungan kita dengan calon suami/istri baru, dan sebaik apa kedekatan yang kita bina dengan anak-anaknya, tinggal serumah berarti a brand new life. Bersiaplah karena semua tidak akan sama persis lagi. Jalan terbaik, diskusikan ini sebelum tinggal satu atap. Anak-anak itu pintar dan mereka sudah seharusnya dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Apalagi,  ini menyangkut perubahan besar dalam kehidupan mereka selanjutnya. Kalau merasa keberadaan mereka tidak ada artinya lagi, anak  bisa menjauh dan mencari kebahagiaan lain di luar rumah.

 

Pelan-Pelan Saja

Saat anak lahir, kita langsung jatuh cinta padanya, bahkan mungkin sejak ia masih dalam kandungan. Hampir mustahil bila kita punya perasaan yang sama saat bertemu anak tiri. Jadi nggak usah ngotot harus langsung merasakan cinta pada dia. Coba habiskan waktu berdua agar bisa lebih saling mengenal. Cari apa persamaan kita dengan dia (pasti ada!). Sebagai orangtua, kita juga harus belajar untuk lebih banyak mendengar daripada bicara. Nggak cuma bikin anak tiri merasa dihargai, cara ini pun bakal bikin kita makin tahu apa pendapatnya, apa keinginannya, apa yang dikhawatirkannya.

 

Bukan Pengganti Ibu/Ayah Biologis 

Ini mungkin terdengar mustahil bagi beberapa orangtua tiri. Tapi, sungguh, kita nggak perlu menganggap mantan pasangan istri/suami sebagai saingan. Nggak perlu repot-repot berusaha harus menjadi ibu/ayah yang lebih baik untuk anak tiri. Atau, jungkir balik berupaya membuktikan kita bisa menjadi istri/suami yang lebih baik untuk pasangan kita sekarang. Contoh paling kecil: jangan paksa anak tiri memanggil kita ibu, bunda, mama, atau bapak, ayah, papa. Biarkan dia nyaman dengan sebutan yang ia tentukan sendiri. Penting bagi kita menghormati keberadaan ibu/ayah kandungnya. Kita perlu menghargai kuatnya hubungan darah antara anak tiri dan dia, seperti yang kita miliki dengan anak kita sendiri. Nanti, jangan kaget kalau anak tiri juga akan memperlakukan kita dengan baik, seperti cara kita memperlakukan ibu/ayahnya.

 

Kompak tentang Aturan

Masing-masing keluarga punya kebiasaan. Makan di depan TV mungkin biasa dalam pernikahan pertama pasangan. Kalau berniat mengembalikan rutinitas makan bersama di meja makan, kita nggak bisa dong melakukannya sendiri. Buat kesepakatan dengan pasangan bagaimana menjalankan keluarga baru ini; dari jam tidur malam, mengerjakan PR, sampai tugas rumah tangga. Kita adalah ibu tiri untuk anak biologis suami, dan suami adalah ayah tiri untuk anak kandung kita. Kalau anak-anak mendapat pesan yang sama tentang apa yang boleh dan tidak, ini bakal memudahkan kita semua melalui masa transisi dengan lancar. Hei, kita juga bisa mulai menciptakan kebiasaan dan rutinitas baru keluarga campuran kita nanti.

 

Jangan berusaha melakukan ini semua sendirian, Superparent. Coba jalin pertemanan dengan ibu-ibu atau ayah-ayah lain yang memiliki keluarga campuran. Kita bisa saling mendukung dan berbagi dengan mereka. Atau, minta bantuan terapis keluarga profesional. Semoga berhasil. Sungguh.

 

 

HAFIDA INDRAWATI

FOTO: THINKSTOCK PHOTOS

Share to :


Leave A Comment